contoh tugas pjkr

bagi anda yang bingung mau nyontek haha ada beberapa nih tugas yang ane kerjain jangan di contoh semua ya gan verifikasi sama agan kalau bisa di benerin biar makin bagus ia ga,, semoga bermanfaat nih tugas anee :D ini makalah PKN di kuliah PJKR gan kalau agan agan kuliah di olahraga insyaallah ini bermanfaat buat agan

PENDAHULUAN

A.  Latar belakang
Dewasa ini, pengetahuan kita mengenai kebudayaan Indonesia sangatlah kurang, anak muda zaman sekarang lebih megetahui tentang moderanisasi ketimbang tradisional. Pengaruh kebudayaan luar menyebabkan kurangnya pengetahuan kita mengenai proses kebudayaan tentang ada di Indonesia. Kurangnya pengetahuan akan hak dan kewajiban kita sebagai warga Negara menimbulkan hilangnya rasa persatuan kita baik terhadap sesama maupun Negara. Masing-masing Individu lebih mementingkan kepentingannya sendiri, tanpa ada rasa peduli terhadap sesamanya.
Sebagai warga Negara Indonesia yang baik, haruslah memiliki rasa Integrasi nasional. Yaitu suatu sikaf kepedulian terhadap sesama serta memiliki rasa persatuan yang tinggi, baik terhadap Bangsa Negara, Agama serta Keluarga.
Dalam makalah ini, kami ingin menjelaskan tantang makna Integrasi Nasional, serta penyebab terjadinya integrasi nasional dan upaya yang harus dilakukan dalam integrasi nasional

B. Rumusan masalah
1. Intergasi nasional dan pluralitas nasional
2. Strategi integrasi
3. Integrasi nasional Indonesia

C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini untuk mengetahui tentang proses yang terjadi di Indonesia belakangan ini. Serta ingin memperluas ilmu pengetahuan sosial.

D. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan makalah ini diantaranya :
1.    Memperluas cakrawala berfikir kita mengenai masalah-masalah yang ada di Indonesia.
2.    Sebagai media informasi dalam dunia pendidikan.

PEMBAHASAN
1. Intergasi nasional dan pluralitas nasional
Indonesia sebagai bangsa yang diidentifikasi memiliki kemajemukan masyarakat berdasar pada agama, suku, adat, budaya, dan kondisi kekinian yang dipengaruhi oleh ekonomi. Menurut Parsudi Suparlan (dalam Rustanto, t.t), “Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk yang dicirikan pada wujud pentingnya kesukubangsaan sebagai identitas diri”. Kemajemukan itulah yang nantinya melahirkan struktur sosial masyarakat. Struktur sosial masyarakat adalah model pelapisan masyarakat atau penggolongan masyarakat dalam segmen-segmen berdasar karakteristik tertentu, yang kemudian membudaya. Struktur sosial masyarakat berperan sebagai pembeda dan pengelompokkan penduduk atau masyarakat dalam jenjang sosial yang bersifat hierarkis (Herwanto, 2013). Sebagai masyarakat plural sejak zaman Hindia-Belanda, Indonesia berada dalam kondisi keberagaman tinggi (Furnivall dalam Nasikun, 1995). Kemajemukan diniali sebagai bentuk identitas nasional bangsa. Plural Societies adalah masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa adanya pembauran satu sama lain di dalam suatu kesatuan politik. Secara politik, masyarakat masjemuk Indonesia diidentifikasi dengan tanda ketiadaan kehendak bersama (common will), berfokus pada sekumpulan individu dari pada suatu kesatuan organis, serta dalam kehidupan ekonomi, ditandai sengan ketiadaan kesamaan terhadap permintaan sosial bersama (common social demand).  Menurut Pierre L van de Berghe, karakteristik masyarakat plural sebagai sifat dasar kemajemukan yakni : (1) terjadinya segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok ynag seringkali memiliki sub-kebudayaan yang berbeda satu sama lain; (2) memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat non komplementer; (3) kurang mengembangkan konsensus di antara para anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar; (4) secara relatif sering kali mengalami konflik-konflik di antara kelompok satu dengan kelompok yang lain; (5) secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan di dalam bdang ekonomi, serta; (6) adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok yang lain. Secara fungsional konservatif, strukur sosial diperlukan demi mengupayakan terpenuhinya runtutan interdependensi kompleks. Menurut pendekatan ini, startifikasi bertanggung jawab dalam usaha pengisian jabatan, bersifat inhern dan diperlukan demi kelangsungan sistem. Hal ini bertolak belakang dengan model pendekatan konflik, bahwa pelapisan yang ada adalah ulah kelompok-kelompok elitis yang berkuasa secara sengaja untuk mempertahankan dominansinya hingga menimbulkan bentukan sosial yang diskriminatif. Dalam ilmu sosiologi, dasar dan inti pelapisan sosial adalah tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban serta kewajiban dan tanggung jawab di antara anggota masyarakat. Yang perlu di garis bawahi adalah korelasi anatara kemajuan dengan strata sosial, bahwa semakin maju suatu masyarakat, berbanding lurus dengan tingkat kompleksitas pelapisan sosial yang terjadi di dalamnya (Herwanto, 2013). Pelapisan masyarakat sejatinya telah ada sejak manusia mengenal kehidupan bersama dalam organisasi sosial, dan atas kesadaran saling membutuhkan dalam pemenuhan kebutuhan hidup.
Struktur sosial masyarakat dikategorikan dalam dua jenis yakni secara horizontal dan vertikal (Nasikun, 1995). Mengacu pada model horizontal, kemajemukan masyarakat Indonesia dihasilkan atas pluralitas tinggi terhadap suku, ras, budaya, dan agama. Dalam hal ini, tingginya tingkat kemajemukan secara horizontal dinilai dapat memperkaya aspek budaya Indonesia. Mengingat perbedaan ini tidak dapat dipisahkan dengan bentukan Indonesia yang mengupayakannya untuk ada. Hal ini dapat terlihat bagaimana faktor geografis berperan mensegmentasikan budaya masing-masing daerah. Bukan hanya bagaimana geografis wilayah Indonesia yang berbentuk kesatuan kepulauan, namun juga mengenai pengaruh topografi hingga klimatologis. Perbedaan mendasar seperti disebutkan di atas menjadikan Indonesia kaya akan model adat kedaerahan. Banyak cabang yang terlahir dari perbedaan ekologis seperti kontur tanah dan curah hujan yang berpengaruh pada bentukan mayoritas pekerjaan. Seperti model ladang di luar jawa atau shifting cultivation dan wet rice cultivation, pertanian lahan basah yang berkembang di daerah jawa-bali (Rustanto, t.t). Sejatinya, karakteristik struktur majemuk horizontal dapat mengintegrasikan dominasi budaya pluralitas di Indonesia dalam satu kesatuan toleransi. Perbedaan bukan ditujukan untuk saling menghegemoni dan mensubordinat atau memarginalkan budaya lain, namun seiring dengan kemajuan yang diupayakan pemerintah, pluralitas budaya sebagai karakteristik nasional mampu memicu dan bertindak sebagai promotor kesatuan atas Bhineka Tunggal Ika, sebagai amunisi kekuatan pertahanan dan perlawanan terhadap agresi asing (Jackson & Sorensen, 1999).
Secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia digolongka dalam model ekstrimis lapisan atas dan lapisan bawah. Di antara keduanya memiliki kecanggungan yang tajam (Nasikun, 1995). Model struktur majemuk masyarakat secara vertikal cenderung didominasi oleh faktor ekonomi. Ekonomi menggerakkan besar pendapatan yang mempengaruhi bentuk gaya hidup yang pada akhirnya dapat diidentifikasi secara jelas bagaimana kalangan borjuis menikmati fasilitas penunjang sebagai penganut sosialita dengan mudah, namun di sisi lain ketidaksemerataan potensi yang menghasilkan bentuk ketimpangan tajam berimbas pada kalangan proletar. Kelas bawah cenderung berkutat pada posisinya yang bahkan sulit untuk memenuhi tuntutan pokoknya. Pada praktiknya, pandangan vertikal memiliki konsekuensi terhadap adanya bentuk konflik sosial (Nasikun, 1995). Hal  ini terjadi akibat perbedaan pemahaman dan penyalahgunaan kepemilikan aspek kekuatan oleh beberapa pihak. Kecemburuan sosial antara masyarakat bawah terhadap pihak atas mampu mendorong berbagai pergolakan sebagai alasan adanya kekecewaan terhadap sistem ekonomi kompleks. Model horizontal tak pelak juga mampu menimbulkan disintegrasi sosial. Sepertihalnya permasalahan panjang yang melibatkan penganut Syiah dan Su’ni yang terjadi di ranah Madura beberapa waktu lalu.
Menurut Nasikun (1995), karakter nasional yang dibangun dari pluralitas atas ketidaksamaan dalam masyarakat sejatinya dapat mendorong terjadinya ketidakharmonisan hingga berujung pada potensi konfliktual. Perbedaan identitas mampu melahirkan pemahaman yang berbeda. Kecurigaan dan aksi saling menjatuhkan akan berimbas pada ketidakselarasan kepentingan yang akan hadir memecah integrasi kesatuan, dan membentuk gesekan antar budaya sosial. Menilik pada disintegrasi sebagai konsekuensi logis, tidak meniadakan kekuatan pluralitas yang mampu menguatkan sistem nasional ketika diolah dan dikomandoi oleh sistematika aturan yang tidak terkesan tumpang tindih. Secara jelas struktur majemuk masyarakat Indonesia telah disegmentasikan sejak zaman kolonial. Pada masanya, penjajahan di Indonesia mengkategorikan segala aspek seperti hak pendidikan, kesehatan, dan hukum pada pembagian golongan yakni, golongan satu yang dikuasai pihak Belanda dan keturunannya, golongan akhir oleh bangsa pribumi, serta di antara keduanya terdapat kalangan China Tionghoa yang memiliki keistimewaan berarti (Nasikun, 1995). Saat itu, bentukan golongan dalam struktur masyarakat tidak menimbulkan konfliktual yang tajam, meski tidak juga meniadakan gerakan aspiratif pribumi dalam permasalahan perbedaan pengakuan dan kesempatan di berbagai bagian. Namun, pada masa kolonial, masyarakat Indonesia terintegrasi dalam cakupan kedaerahan, berusaha mendobrak peranan dominan pihak asing, bukan pergolakan kesatuan yang sering terjadi saat ini. Di mana masyarakat Indonesia kehilangan pemahaman penuh mengenai toleransi dan kesatuan, serta seakan terhipnotis untuk saling mendominasi dan mengabaikan semangat integrasi nasional. Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa, masyarakat majemuk merupakan masyarakat yang tersegmen dalam kelompok-kelompok, yang memiliki entitas berbeda, hidup bersama dalam kesatuan wilayah hukum namun dipetakan ke dalam golongan atas dasar garis budaya (Rustanto, t.t). Struktur masyarakat Indonesia yang hadir atas kemajemukan dan pluralitas sejatinya tidak dapat dipisahkan dengan agenda konflik yang dapat menjadi boomerang pecahnya kesatuan nasional. Semakin tingginya model perbedaan berbanding lurus terhadap konsekuensi logisnya. Namun, dalam pandangan optimisme, sejak Indonesia merdeka dengan berdiri di atas empat pilar utama, bertindak sebagai landasan berpikir dan pemahaman bahwa kemajemukan dapat menjadi alasan untuk menatap masa depan bangsa dalam integrasi nasional yang saling menguatkan oleh sikap tolerir dan kesadaran sebagai satu kesatuan yang terikat dalam instrumen hukum Indonesia. Karena itulah, kemudian Indonesia membawa semboyan Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa yang diambil dari Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular. Karena Indonesia itu beragam, karena Indonesia itu kaya, karena Indonesa itu satu. Penulis mengharapkan adanya kesadaran pluralitas secara rasional, mengedepankan saling menghargai demi terwujudnya kesatuan persatuan bangsa. Serta optimisme kuat, mengolah keberagaman dalam suatu wadah entitas karakter nasional sebagai national power bangsa Indonesia.

B. Strategi Integrasi

Masalah integrasi nasional merupakan persoalan yang dialami oleh semua negara, terutama adalah negara-negara berkembang. Dalam usianya yang masih relatif muda dalam membangun negara bangsa (nation state), ikatan antara kelompok-kelompok yang berbeda dalam negara masih rentan dan mudah tersulut untuk terjadinya pertentangan antar kelompok. Disamping itu masyarakat di negara berkembang umumnya memiliki ikatan primordial yang masih kuat. Kuatnya ikatan primordial menjadikan masyarakat lebih terpancang pada ikatan-ikatan primer yang lebih sempit seperti ikatan keluarga, ikatan kesukuan, ikatan sesama pemeluk agama, dan sebagainya. Dengan demikian upaya mewujudkan integrasi nasional yang notabene mendasarkan pada ikatan yang lebih luas dan melawati batas-batas kekeluargaan, kesukuan, dan keagamaan menjadi sulit untuk diwujudkan. Dalam rangka mengupayakan terwujudnya integrasi nasional yang mantap ada beberapa strategi yang mungkin ditempuh, yaitu:
1. Stategi Asilmilasi
2. Strategi Akulturasi
3. Strategi Pluralis
Ketiga strategi tersebut terkait dengan seberapa jauh penghargaan yang diberikan atas unsur-unsur perbedaan yang ada dalam masyarakat. Srtategi asimilasi, akulturasi, dan pluralisme masing-masing menunjukkan penghargaan yang secara gradual berbeda dari yang paling kurang, yang lebih, dan yang paling besar penghargaannya terhadap unsur-unsur perbedaan dalam masyarakat, di dalam upaya mewujudkan integrasi nasional tersebut.

1. Strategi Asimilasi
Asimilasi adalah proses percampuran dua macam kebudayaan atau lebih menjadi satu kebudayaan yang baru, di mana dengan percampuran tersebut maka masing-masing unsur budaya melebur menjadi satu sehingga dalam kebudayaan yang baru itu tidak tampak lagi identitas masing-masing budaya pembentuknya. Ketika asimilasi ini menjadi sebuah strategi integrasi nasional, berarti bahwa negara mengintegrasikan masyarakatnya dengan mengupayakan agar unsur-unsur budaya yang ada dalam negara itu benar-benar melebur menjadi satu dan tidak lagi menampakkan identitas budaya kelompok atau budaya lokal. Dengan strategi yang demikian tampak bahwa upaya mewujudkan integrasi nasional dilakukan tanpa menghargai unsur-unsur budaya kelompok atau budaya lokal dalam masyarakat negara yang bersangkutan. Dalam konteks perubahan budaya, asimilasi memang bisa saja terjadi dengan sendirinya oleh adanya kondisi tertentu dalam masyarakat. Namun bisa juga hal itu merupakan bagian dari strategi pemerintah Negara dalam mengintegrasikan masyarakatnya, yaitu dengan cara melakukan rekayasa budaya agar integrasi nasional dapat diwujudkan. Dilihat dari perspektif demokrasi, apabila upaya yang demikian itu dilakukan dapat dikatakan sebagai cara yang kurang demokratis dalam mewujudkan integrasi



2. Strategi Akulturasi
Akulturasi adalah proses percampuran dua macam kebudayaan atau lebih sehingga memunculkan kebudayaan yang baru, di mana ciri-ciri budaya asli pembentuknya masih tampak dalam kebudayaan baru tersebut. Dengan demikian berarti bahwa kebudayaan baru yang terbentuk tidak “melumat” semua unsur budaya pembentuknya. Apabila akulturasi ini menjadi strategi integrasi yang diterapkan oleh pemerintah suatu negara, berarti bahwa Negara mengintegrasikan masyarakatnya dengan mengupayakan adanya identitas budaya bersama namun tidak menghilangkan seluruh unsur budaya kelompok atau budaya lokal. Dengan strategi yang demikian tampak bahwa upaya mewujudkan integrasi nasional dilakukan dengan tetap menghargai unsur-unsur budaya kelompok atau budaya lokal, walaupun penghargaan tersebut dalam kadar yang tidak terlalu besar. Sebagaimana asimilasi, proses akulturasi juga bisa terjadi dengan sendirinya tanpa sengaja dikendalikan oleh negara. Namun bisa juga akulturasi menjadi bagian dari strategi pemerintah negara dalam mengintegrasikan masyarakatnya. Dihat dari perspektif demokrasi, strategi integrasi nasional melalui upaya akulturasi dapat dikatakan sebagai cara yang cukup demokratis dalam mewujudkan integrasi nasional, karena masih menunjukkan penghargaan terhadap unsur-unsur budaya kelompok atau budaya lokal.

3. Strategi Pluralis
Paham pluralis merupakan paham yang menghargai terdapatnya perbedaan dalam Paham pluralis pada prinsipnya mewujudkan integrasi nasional dengan memberi kesempatan pada segala unsur perbedaan yang ada dalam masyarakat untuk hidup dan berkembang. Ini berarti bahwa dengan strategi pluralis, dalam mewujudkan integrasi nasional negara memberi kesempatan kepada semua unsur keragaman dalam negara, baik suku, agama, budaya daerah, dan perbedaan-perbedaan lainnya untuk tumbuh dan berkembang, serta hidup berdampingan secara damai. Jadi integrasi nasional diwujudkan dengan tetap menghargai terdapatnya perbedaan-perbedaan dalam masyarakat. Hal ini sejalan dengan pandangan multikulturalisme, bahwa setiap unsure perbedaan memiliki nilai dan kedudukan yang sama, sehingga masing masing berhak mendapatkan kesempatan untuk berkembang.





C. Integrasi Nasional Indonesia
1. Dimensi Integrasi Nasional
Integrasi nasional dapat dilihat dari dua dimensi, yaitu dimensi vertikal dan dimensi horisontal. Dimensi vertikal dari integrasi adalah dimensi yang berkenaan dengan upaya menyatukan persepsi, keinginan, dan harapan yang ada antara elite dan massa atau antara pemerintah dengan rakyat. Jadi integrasi vertikal merupakan upaya mewujudkan integrasi dengan menjebatani perbedaan-perbedaan antara pemerintah dan rakyat. Integrasi nasional dalam dimensi yang demikian biasa disebut dengan integrasi politik. Sedangkan dimensi horisontal daari integrasi adalah dimensi yang berkenaan dengan upaya mewujudkan persatuan di antara perbedaan-perbedaan yang ada dalam masyarakat itu sendiri, baik perbedaan wilayah tempat tinggal, perbedaan suku, perbedaan agama, perbedaan budaya, dan pernedaan-perbedaan lainnya. Jadi integrasi horisontal merupakan upaya mewujudkan integrasi dengan menjembatani perbedaan antar kelompok dalam masyarakat. Integrasi nasional dalam dimensi ini biasa disebut dengan integrasi teritorial. Pengertian integrasi nasional mecakup baik dimensi vertical maupun dimensi horisontal. Dengan demikian persoalan integrasi nasional menyangkut keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat, serta keserasian hubungan di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat dengan latar belakang perbedaan di dalamnya. Dalam upaya mewujudkan integrasi nasional Indonesia, tantangan yang dihadapi datang dari keduanya. Dalam dimensi horizontal tantangan yang ada berkenaan dengan pembelahan horizontal yang berakar pada perbedaan suku, agama, ras, dan geografi. Sedangkan dalam dimensi vertikal tantangan yang ada adalah berupa celah perbedaan antara elite dan massa, di mana latar belakang pendidikan kekotaan menyebabkan kaum elite berbeda dari massa yang cenderung berpandangan tradisional. Masalah yang berkenaan dengan dimensi vertikal lebih sering muncul ke permukaan setelah berbaur dengan dimensi horizontal, sehingga memberikan kesan bahwa dalam kasus Indonesia dimensi horizontal lebih menonjol daripada dimensi vertikalnya. (Sjamsuddin, 1989: 11). Tantangan integrasi nasional tersebut lebih menonjol ke permukaan setelah memasuki era reformasi tahun 1998. Konflik horizontal maupun vertical sering terjadi bersamaan dengan melemahnya otoritas pemerintahan di pusat. Kebebasan yang digulirkan pada era reformasi sebagai bagian dari proses demokratisasi telah banyak disalahgunakan oleh kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk bertindak seenaknya sendiri, tindakan mana kemudian memunculkan adanya gesekan-gesekan antar kelompok dalam masyarakat dan memicu terjadinya konflik atau kerusuhan antar kelompok. Bersamaan dengan itu demontrasi menentang kebijakan pemerintah juga banyak terjadi, bahkan seringkali demonstrasi itu diikuti oleh tindakan-tindakan anarkhis. Sedangkan jalinan hubungan dan kerjasama di antara kelompok- kelompok yang berbeda dalam masyarakat, kesediaan untuk hidup berdampingan secara damai dan saling menghargai antara kelompok- kelompok masyarakat dengan pembedaan yang ada satu sama lain, merupakan pertanda adanya integrasi dalam arti horisontal. Kita juga tidak dapat mengharapkan terwujudnya integrasi horisontal ini dalam arti yang sepenuhnya. Pertentangan atau konflik antar kelompok dengan berbagai latar belakang perbedaan yang ada, tidak pernah tertutup sama sekali kemungkinannya untuk terjadi. Namun yang diharapkan bahwa konflik itu dapat dikelola dan dicarikan solusinya dengan baik, dan terjadi dalam kadar yang tidak terlalu mengganggu upaya pembangunan bagi kesejahteraan masyarakat dan pencapaian tujuan nasional.

2. Mewujudkan Integrasi Nasional Indonesia
Salah satu persoalan yang dialami oleh negara-negara berkembang termasuk Indonesia dalam mewujudkan integrasi nasional adalah masalah primordialisme yang masih kuat. Titik pusat goncangan primordial biasanya berkisar pada beberapa hal, yaitu masalah hubungan darah (kesukuan), jenis bangsa (ras), bahasa, daerah, agama, dan kebiasaan. (Geertz, dalam: Sudarsono, 1982: 5-7). Di era globalisasi, tantangan itu bertambah oleh adanya tarikan global di mana keberadaan negara-bangsa sering dirasa terlalu sempit untuk mewadahi tuntutan dan kecenderungan global. Dengan demikian keberadaan negara berada dalam dua tarikan sekaligus, yaitu tarikan dari luar berupa globalisasi yang cenderung mangabaikan batas-batas negara-bangsa, dan tarikan dari dalam berupa kecenderungan menguatnya ikatan-ikatan yang sempit seperti ikatan etnis, kesukuan, atau kedaerahan. Disitulah nasionalisme dan keberadaan negara nasional mengalami tantangan yang semakin berat.









DAFTAR PUSTAKA



ini tugas ane di kampus gan itu daftar pustaka nya sama aye ngambil dari buku cubit cubit gituu lets go

jangan lupa bilang teriamaksih kepada om google

Komentar