Jakarta - Baru-baru ini saya berbincang dengan seorang rekan guru di sekolah. Isi perbincangan seputar bentuk tes esai yang tampaknya "dianaktirikan" selama ini. Salah dua penyebabnya ialah "dominasi" tes pilihan ganda terhadap tes esai dan repotnya guru saat memeriksa hasil tes esai.
Secara operasional, tes pilihan ganda selalu menggoda. Murid mudah mengerjakannya, karena tinggal memilih satu pilihan jawaban yang (paling) benar. Saat guru memeriksa, cepat dan mudah. Apalagi, saat ini ada banyak software atau aplikasi untuk membantu pelaksanaan tes pilihan ganda. Beberapa kali klik, jadilah hasilnya.
Sebaliknya, melaksanakan tes esai tidak mudah. Semisal, guru perlu menyusun soal esai dengan indikator soal yang tepat, paling tidak mencakup semua materi esensial. Guru perlu membuat rubrik penilaian yang akuntabel. Intinya butuh ketekunan dan kerja keras guru saat merancang hingga memeriksa hasil tes esai murid.
Awalnya, langkah seperti ini tidak akan mudah dan nyaman bagi guru maupun bagi murid. Bagi murid yang sudah terbiasa dengan soal pilihan ganda, akan sulit menjawab soal berbentuk esai. Meski dalam bertutur murid cerewet, tapi dalam menjawab soal esai alias menulis teks panjang belum tentu murid langsung bisa.
Sebagai guru, saya mengalami langsung di kelas; murid sulit menjawab soal berbentuk teks panjang. Kala itu panitia ujian tengah semester menetapkan bentuk soal esai dalam pelaksanaan ujian. Pada mata pelajaran yang saya ampu, saya sengaja membuat soal esai terbuka. Tujuannya agar berdasarkan materi pelajaran yang telah dipelajari, murid dapat menjawab dengan bahasanya sendiri. Hasilnya, rata-rata murid memiliki jawaban yang sangat textbook. Sedangkan sisanya, murid menjawab dengan bahasa sendiri. Hanya saja, jawaban murid itu "over imajinatif", alias hanya murid itu dan Tuhan yang mengerti.
Awalnya, saya mengira bahwa mungkin karena waktu pengerjaan soal ujian tengah semester terbatas, sehingga murid merasa tertekan, lalu menjawab sekenanya. Oleh karena itu, berikutnya saya coba memberi soal pekerjaan rumah dengan bentuk esai terbuka pula. Saya berharap dengan banyaknya waktu menjawab soal di rumah, hasilnya akan lebih baik. Ternyata, hasilnya sama. Jawaban murid kalau tidak textbook lagi, maka "text-internet" lagi.
Lalu, bagaimana agar murid-murid saya bisa menjawab sesuai nalar mereka juga? Bukankah menurut kategori Jean Piaget, pencetus teori perkembangan kognitif manusia, murid SMP seharusnya sudah pada tahap perkembangan kognitif operasional formal? Artinya murid sudah menguasai penalaran dan bisa berpikir abstrak. Lalu kenapa hasilnya begitu?
Ada banyak hipotesis dalam perbincangan saya dan rekan guru. Salah satunya, sang rekan guru mengatakan perihal pembiasaan. Bahwa selama ini bentuk soal pilihan ganda telah membiasa dalam diri murid. Murid sudah nyaman dalam pola pilihan ganda. Ketika pola pilihan ganda diubah jadi esai, status quo murid berontak menolak.
Nah, karena soal pilihan ganda sudah membiasa, demi meningkatkan kemampuan menulis murid, soal esai pun mesti melalui proses pembiasaan. Perlahan, murid akan terbiasa mengerjakan soal esai. Lalu kompetensi murid untuk bernalar dan menulis teks panjang perlahan-lahan akan berkembang. Malcolm Gladwell dalam bukunya Outliers: Rahasia di Balik Kesuksesan menyebut bahwa dibutuhkan sepuluh ribu jam latihan untuk mencapai kesuksesan.
Mengapa kompetensi menulis itu penting? Silakan pembaca mengeceknya di internet. Sudah banyak penulis yang mengulas hal ini di internet. Inti ulasan mereka ialah menulis merupakan salah satu kemampuan penting bagi seseorang untuk bertahan hidup di masa depan.
Tahun 2019 lalu saya mengikuti Sekolah Antikorupsi (SAKTI) Guru bersama Indonesia Corruption Watch (ICW) di Jakarta. Saya bertemu peneliti ICW Kurnia Ramadhana, salah satu pemateri dalam kegiatan SAKTI Guru. Dalam materinya kepada saya dan teman-teman SAKTI Guru, dia menyebut alasannya menulis di media. Bahwa menulis membantunya berpikir runtut dan sistematis. Hal ini sangat bermanfaat ketika dia diwawancara oleh reporter televisi atau berbicara di forum tertentu. Pemaparannya menjadi lebih teratur dan pesannya tersampaikan dengan baik.
Sang rekan guru yang saya ajak bicara, baru-baru ini gagal mendaftar Program Guru Penggerak dari Kemendikbudristek. Pasalnya, pada program ini, guru pendaftar mesti mengisi semua pertanyaan esai di laman pendaftaran. Ada belasan pertanyaan dengan minimal jawaban mulai 5000 karakter untuk setiap pertanyaan. Saya sendiri hampir menyerah. Untungnya saya sudah mulai terbiasa menulis.
Begitulah keterampilan menulis sangat bermanfaat dalam kehidupan dunia kerja dan di bidang lainnya. Di titik ini, kompetensi menulis murid menjadi penting untuk dikembangkan. Dan salah satu caranya ialah melatih dan membiasakan murid mengerjakan soal-soal berbentuk esai.[dtk]
Komentar